My Note (Monday, April 30th 2018)
KETIKA
S.Pd MENJADI SPG
Hari
ini adalah hari yang terasa begitu aneh bagiku.. teras aneh, namun bukan
berarti aku tidak bersyukur untuk hari ini ya.. :D. Hari ini ada satu kalimat
seseorang yang begitu menggelitik bagiku. Lebih tepatnya suatu perkataan kali
ya.., atau mungkin lebih cocok kalau aku menyebutnya kata-kata mutiara? Oh
tidak.. itu mungkin tidak bisa atau bahkan tidak seharusnya disebut sebagai
“kata-kata mutiara”. Tapi terlepas dari apapun seharusnya aku menyebut atau
menamainya, bagiku perkataan itu cukup menggertak pikiranku, dan bahkan hatiku.
Menggelitik, miris, bahkan …. Ah sudahlah, saat ini aku memilih untuk
menuangkannya dalam catatanku hari ini.
“Ketika S.Pd menjadi SPG”. Begitulah
perkataannya. Apa yang anda pikirkan setelah mendengar kalimat itu?. Apakah
anda sudah pernah mendengarnya sebelumnya? Bagaimana ekspresi anda setelah
mendengar kata-kata itu? atau bagi anda yang
sama sekali belum pernah mendengarnya, bahkan ini baru pertamakalinya setelah membacanya di tulisan
ini? Mungkinkah yang kita rasakan sama?
Bagi
orang yang menggeluguti bidang pendidikan, misalnya seseorang yang menimba ilmu
di bidang pendidikan/keguruan (seperti saya ini :D) perkataan di atas sudah
pasti menggelitik bagi anda, menggelitik bagi kita. Bagaimana tidak? Karena
secara tidak langsung, kita akan mengaitkannya dengan diri kita sendiri.
Mengapa dan bagaimana hal itu bisa terjadi? Bahkan telebih lagi kalau kemudian
muncul pertanyaan di benak kita, “akankah hal itu terjadi juga pada saya?”
Sebelumnya
saya akan bercerita dulu, bagaimana saya bisa mendengar kalimat ini “ketika S.Pd menjadi SPG”. Beginilah
ceritanya. Tadi siang, saya dengan
seorang teman saya mengantarkan lamarannya ke “Matahari”. Kita pasti
sudah tahu kan, kalau disebut “Matahari” kira-kira bekerja sebagai apa di sana?
;). Teman yang saya maksudkan adalah teman dekat saya. Lebih tepatnya lagi saya
akan menyebutnya sebagai teman seperjuangan, karena kami sama-sama menimba ilmu
di bidang kependidikan alias keguruan. Dengan kata lain kami adalah calon S.Pd
:D. Saya tidak akan membahas apa yang menjadi motif teman saya mengajukan
lamaran kerja ke sana, meskipun saat ini kami aktif kuliah. Karena saya rasa,
itu merupakan privasi dia. Tapi saya sangat tertarik dan ingin membagikan apa
yang saya rasakan ketika di siang tadi seorang kakak yang telah bekerja di Matahari
melontarkan kalimat menggelitik tadi. Bagaimana tidak? Ternyata kakak itu
adalah senioran kami (jurusan kependidikan :D) artinya, kakak itu adalah
seseorang yang menyandang gelar S.Pd namun bekerja sebagai SPG.
Pendek
cerita, setelah kami berbasa basi, kakak ini mengungkapkan beberapa alasannya,
mengapa kakak ini bisa bekerja sebagai SPG dengan gelar yang disandangnya
adalah S.Pd. Satu alasan yang begitu melekat di pikiran saya adalah “saya pernah
ngajar (menggunakan gelar S.Pd) namun gaji yang saya dapat hanya Rp450.000 per
bulan, kemudian saya memutuskan untuk melemparkan lamaran di sini, dan
diterima. Gaji di sini bukan gaji yang kecil loh dek, apalagi kalau
dibandingkan dengan gaji ngajar”. Begitulah kira-kira kalimat yang
diucapkannya.
Seusai
perbincangan kami, saya kemudian bermain di taman pikiran saya sendiri. Bahkan hal ini berlanjut sampai ketika saya mengikuti
perkuliahan di kelas (yang dimulai pukul 16.20). Betapa mirisnya ternyata nasib
para penyandang gelar S.Pd. Lalu kemudian saya bertanya dalam hati sendiri
“kalau pada kenyataannya si penyandang gelar S.Pd sudah banyak yang kecarian
tempat/lapangan kerja sesuai dengan bidangnya (tentunya dengan harapan imbalan
yang sesuai), lalu mengapa di lapangan pendidikan (sekolah) banyak juga yang
mengajar tanpa gelar kependidikan? (alias tanpa menyandang gelar S.Pd?”.
Bukankah ini namanya “terlalu dikasih kelonggaran dalam hal menjadi guru?” yang
pada akhirnya menyebabkan semakin membludaknya penyandang S.Pd yang bekerja
tidak sesuai bidangnya? kalau saja seandainya hal ini bisa dipangkas, tidakkah
hal itu akan lebih bagus? Baik bagi sipenyandang gelar S.Pd maupun bagi
anak-anak yang dididik? Bukankah ilmu mendidik itu diperoleh dari pendidikan
keguruan?, bukankah profesi guru itu, adalah profesi yang membutuhkan
keahlian?. Atau, apakah mereka yang menyandang gelar S.Pd ternyata tidak
sepenuhnya memberikan hatinya untuk menjadi penyandang S.Pd? sehingga mereka
yang bukan penyandang S.Pd lebih berkualitas daripada penyandang S.Pd?
Terlepas
dari apapun yang menjadi alasan di balik semua itu, mengapa pada kenyataannya, yang
terjadi seolah menjadi terbalik, saya sangat berharap saya nantinya tidak akan
mengalami seperti yang dialami kakak tadi (Amin dalam nama Yesus ). Atau siapapun kita yang benar-benar merindukan
menjadi seseorang yang terjun dalam dunia pendidikan terutama menjadi guru,
tidak akan mengalami seperti yang dialami kakak tadi (Amin… ). Kita juga pastinya berharap adanya perhatian
lebih untuk mereka yang bisa menjadi guru tanpa menyandang gelar kependidikan.
Yang artinya, mudah-mudahan hal ini bisa diminimalisir sebisa mungkin, atau
jika bisa dihapuskan. Biarlah mereka yang memang sudah dipersiapkan terjun ke
dunia pendidikan, mengambil bagian untuk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar