Minggu, 03 Maret 2019

KETIKA S.Pd MENJADI SPG


My Note (Monday, April  30th 2018)
KETIKA S.Pd MENJADI SPG
          Hari ini adalah hari yang terasa begitu aneh bagiku.. teras aneh, namun bukan berarti aku tidak bersyukur untuk hari ini ya.. :D. Hari ini ada satu kalimat seseorang yang begitu menggelitik bagiku. Lebih tepatnya suatu perkataan kali ya.., atau mungkin lebih cocok kalau aku menyebutnya kata-kata mutiara? Oh tidak.. itu mungkin tidak bisa atau bahkan tidak seharusnya disebut sebagai “kata-kata mutiara”. Tapi terlepas dari apapun seharusnya aku menyebut atau menamainya, bagiku perkataan itu cukup menggertak pikiranku, dan bahkan hatiku. Menggelitik, miris, bahkan …. Ah sudahlah, saat ini aku memilih untuk menuangkannya dalam catatanku hari ini.
          “Ketika S.Pd menjadi SPG”. Begitulah perkataannya. Apa yang anda pikirkan setelah mendengar kalimat itu?. Apakah anda sudah pernah mendengarnya sebelumnya? Bagaimana ekspresi anda setelah mendengar kata-kata itu? atau bagi anda yang  sama sekali belum pernah mendengarnya, bahkan ini baru  pertamakalinya setelah membacanya di tulisan ini?  Mungkinkah yang kita rasakan sama?
          Bagi orang yang menggeluguti bidang pendidikan, misalnya seseorang yang menimba ilmu di bidang pendidikan/keguruan (seperti saya ini :D) perkataan di atas sudah pasti menggelitik bagi anda, menggelitik bagi kita. Bagaimana tidak? Karena secara tidak langsung, kita akan mengaitkannya dengan diri kita sendiri. Mengapa dan bagaimana hal itu bisa terjadi? Bahkan telebih lagi kalau kemudian muncul pertanyaan di benak kita, “akankah hal itu terjadi juga pada saya?”
          Sebelumnya saya akan bercerita dulu, bagaimana saya bisa mendengar kalimat ini “ketika S.Pd menjadi SPG”. Beginilah ceritanya. Tadi siang, saya dengan  seorang teman saya mengantarkan lamarannya ke “Matahari”. Kita pasti sudah tahu kan, kalau disebut “Matahari” kira-kira bekerja sebagai apa di sana? ;). Teman yang saya maksudkan adalah teman dekat saya. Lebih tepatnya lagi saya akan menyebutnya sebagai teman seperjuangan, karena kami sama-sama menimba ilmu di bidang kependidikan alias keguruan. Dengan kata lain kami adalah calon S.Pd :D. Saya tidak akan membahas apa yang menjadi motif teman saya mengajukan lamaran kerja ke sana, meskipun saat ini kami aktif kuliah. Karena saya rasa, itu merupakan privasi dia. Tapi saya sangat tertarik dan ingin membagikan apa yang saya rasakan ketika di siang tadi seorang kakak yang telah bekerja di Matahari melontarkan kalimat menggelitik tadi. Bagaimana tidak? Ternyata kakak itu adalah senioran kami (jurusan kependidikan :D) artinya, kakak itu adalah seseorang yang menyandang gelar S.Pd namun bekerja sebagai SPG.
          Pendek cerita, setelah kami berbasa basi, kakak ini mengungkapkan beberapa alasannya, mengapa kakak ini bisa bekerja sebagai SPG dengan gelar yang disandangnya adalah S.Pd. Satu alasan yang begitu melekat di pikiran saya adalah “saya pernah ngajar (menggunakan gelar S.Pd) namun gaji yang saya dapat hanya Rp450.000 per bulan, kemudian saya memutuskan untuk melemparkan lamaran di sini, dan diterima. Gaji di sini bukan gaji yang kecil loh dek, apalagi kalau dibandingkan dengan gaji ngajar”. Begitulah kira-kira kalimat yang diucapkannya.
          Seusai perbincangan kami, saya kemudian bermain di taman pikiran saya sendiri. Bahkan  hal ini berlanjut sampai ketika saya mengikuti perkuliahan di kelas (yang dimulai pukul 16.20). Betapa mirisnya ternyata nasib para penyandang gelar S.Pd. Lalu kemudian saya bertanya dalam hati sendiri “kalau pada kenyataannya si penyandang gelar S.Pd sudah banyak yang kecarian tempat/lapangan kerja sesuai dengan bidangnya (tentunya dengan harapan imbalan yang sesuai), lalu mengapa di lapangan pendidikan (sekolah) banyak juga yang mengajar tanpa gelar kependidikan? (alias tanpa menyandang gelar S.Pd?”. Bukankah ini namanya “terlalu dikasih kelonggaran dalam hal menjadi guru?” yang pada akhirnya menyebabkan semakin membludaknya penyandang S.Pd yang bekerja tidak sesuai bidangnya? kalau saja seandainya hal ini bisa dipangkas, tidakkah hal itu akan lebih bagus? Baik bagi sipenyandang gelar S.Pd maupun bagi anak-anak yang dididik? Bukankah ilmu mendidik itu diperoleh dari pendidikan keguruan?, bukankah profesi guru itu, adalah profesi yang membutuhkan keahlian?. Atau, apakah mereka yang menyandang gelar S.Pd ternyata tidak sepenuhnya memberikan hatinya untuk menjadi penyandang S.Pd? sehingga mereka yang bukan penyandang S.Pd lebih berkualitas daripada penyandang S.Pd?
          Terlepas dari apapun yang menjadi alasan di balik semua itu, mengapa pada kenyataannya, yang terjadi seolah menjadi terbalik, saya sangat berharap saya nantinya tidak akan mengalami seperti yang dialami kakak tadi (Amin dalam nama Yesus ). Atau siapapun kita yang benar-benar merindukan menjadi seseorang yang terjun dalam dunia pendidikan terutama menjadi guru, tidak akan mengalami seperti yang dialami kakak tadi (Amin… ). Kita juga pastinya berharap adanya perhatian lebih untuk mereka yang bisa menjadi guru tanpa menyandang gelar kependidikan. Yang artinya, mudah-mudahan hal ini bisa diminimalisir sebisa mungkin, atau jika bisa dihapuskan. Biarlah mereka yang memang sudah dipersiapkan terjun ke dunia pendidikan, mengambil bagian untuk itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan Ibu Pertiwi..

PESAN IBU PERTIWI... Dia adalah alam… Alam kita... Kita bertumbuh di sana. Kita terlahir berbeda-beda. Tapi jangan lupa, Ibu kita sam...